Wellcome to My Blog ^^

Selasa, 20 Desember 2011

Cerpen "Never Say Give Up 2 Love U"

"Nevl








Suara ribut jangkrik menghantar malam menuju larut, Aku masih terdiam dengan ribuan tanya dihatiku, Setelahku  hentakan dengan keras benda kecil petak persegi panjang yang menghubungkan aku dengannya  (pacarku Radika) disana lewat  udara, mengakhiri percakapan yang  seharusnya belum selesai, kenapa kita harus bertengkar terus? Kenapa semuanya harus diselesaikan dengan kemarahan? kenapa harus aku yang selalu mengalah? Kenapa selalu aku yang salah? Aku lelah…


Aku merebahkan tubuhku ke tempat  tidur di bantalku yang seharusnya  nyaman namun  entah kenapa seperti penuh duri membuat kepalaku sakit, aku tak bisa menutup mataku, sebelum duri dalam pikiranku tercabut. “Radika, kamu malam ini sukses lagi buat aku sedih…” aku memaksakan mataku untuk terpejam, walau aku tak tahu kapan hatiku ikut terpejam.
***
                        Di sore hari yang gelap karena cuaca mendung menyelimuti kota jogja dan sekitarnya, aku menatap kearah pemandangan di luar kafe yang dihalangi dinding kaca itu. Terlihat lalu lalang orang berjalan di depan kafe. Hari ini hari sabtu, jalanan sedikit lebih ramai karena weekend. Terlihat di luar sana sekelompok pelajar smu yang tertawa lepas berjalan beriringan, seorang anak perempuan yang tersenyum memegang lolipop di tangan kiri, dan tangan kanannya memegang erat kelilingking ibunya yang tersenyum mengusap rambutnya lembut, dan di belakangnya terlihat sepasang kekasih bergandeng tangan, tersenyum lepas bahagia, yah mereka bahagia, tidak termasuk aku.
Saat asik melamun aku merasakan sesuatu yang dingin hinggap di hidungku.
“Sannnnnddyyy.....iss” Aku menggerakkan mulutku maju dengan tatapan sangat tidak senang atas perbuatan teman sekaligus mantan pacarku (dulu) mencolekkan ice cream ke hidungku.
“Aku sedang melakukan pertolongan pertama untuk memadamkan kebakaran, kobaran api kesuramanmu sudah hampir akan membakar kafe ini Kinara....” ujarnya meletakkan satu cangkir ice cream strowbery coklat ke depanku sekembalinya Sandy mengambil pesanan ice cream kami tadi. 
“Radika lagi??” dengan tenang Sandy bertanya kepadaku sambil menyeruput cappucino-nya.
“Mungkin”.
“Kok Mungkin?”
“Hiks....Aku bingung nih ...” aku menutup wajahku di atas kedua tanganku yang terlipat di atas meja. “Mama nyuruh aku balik ke Medan, ngelanjutin kuliah disana, karena gak ada yang nemani Mama dirumah, Papa selalu tugas keluar kota, kak Vino udah pindah tugas di Jakarta, Kak Risani udah merried, jadi....mama minta aku nemenin mama di Jogja, hiks khan tanggung sih udah semester 6 juga, tinggal 1 tahun lagi... dan Radika makin cuek lagi....” aku terus mengomel, terasa Sandy mengelus rambutku sekilas.
“Kamu bingung karena kuliah apa karena Radika....??” tanya Sandy. Aku menengadahkan kepalaku kearah Sandy sebentar dan “Hiks..!” aku kembali menangkupkan wajahku di atas meja.
“Aku Benci Radika!” 
Ya sebenarnya bukan karena masalah kuliahku saja yang membuat aku bingung, tapi lebih ke Radika, Aku tidak tahu lagi harus menghadapi sifat Radika yang selalu berubah-ubah dan cenderung cuek. Tapi aku sayang dia, aku tidak mau long distance. Tapi kalau ngelihat Radika yang tidak pernah ngerti perasaanku. Pengen rasanya pergi dari kota Jogja ini, tapi...
“Udah, jangan muram terus, masak aku disuruh ngeliatin kamu manyun terus, semua ada di kamu Kinara, kamu mau di Medan apa di Jogja. Udah di makan ice creamnya, udah hampir meleleh tuh” Sandy menepuk pelan tangan kiriku. Akupun dengan sedikit memaksakan diri duduk dan melahap ice creamku dengan gerakan slow motion
Aku memandang Hpku di meja. Sudah 2 hari Radika tidak ada memberi kabar. Sesaat kemudian aku mengambil Hpku dan mengetikkan pesan.
>> ”Bisa ketemuan malam ini? Aku mau bicara” Send to Radika >>.
Beberapa saat Hpku berdering tanda pesan masuk.
<< ” Malam ini?”<<.
>> ”Ya” Send to Radika >>.
<< ” Maaf Sayang, Ada acara di kampus ne”<<.
>> ” Aku Tunggu di rumah” Send to Radika >>.
<< ”Gak bisa sayang....”<<.
>> ” Aku Tunggu sampai kamu datang!” Send to Radika >>.
Dengan geram aku sedikit membanting Hp ke atas meja. Sandy mengernyitkan dahi. 
“Kita pulang yah San”.
“Ya udah, ice creamnya gak di habisin?” aku menggeleng. “Oke, asalkan Tuan Putri bahagia, mari hamba antar pulang ke istana” dengan gesture pelayan istana Sandy mengajakku keluar kafe. Aku tersenyum sekilas. Kamipun pulang. 
***
Aku melirik jam tangan berbentuk hati di tangan kiriku. Pukul 23:00. Radika tidak juga datang. Pemandangan di depan teras rumahku begitu kelam terlihat. Angin yang berhembus kencang membuat dedaunan berguguran. Suara gemuruh petir di sela-sela kilat yang menyambar membuatku semakin galau. Rintik hujan mulai beberebut jatuh ke bumi. Sedikit demi sedikit mulai membasahi dedaunan, rerumputan dan rumah-rumah. 
Drrrt Drrt
Hpku bergetar tanda pesan masuk. Dengan degdegan aku membuka pesan. Mungkin dari Radika!.
<< ”Sayang, lusa harus sudah ada jawaban Kinara ya, mau balik  Medan atau tidak, agar berkas-berkas kepindahannya segera diselesaikan, selagi Kinara lagi libur 1 minggu kan?? Mama tunggu ya sayang”<<.

Aku hanya bisa memandangi deretan huruf di Hpku. Tanpa sadar jatuh satu aliran air mata membanjiri pipiku yang sudah mendingin karena sedari tadi menunggu. Seketika gemuruh piluku tumpah sudah disaksikan suasana malam kelam yang  seakan turut sedih melihatku. Orang yang sangat kunanti malam ini tidak datang. Tanpa kata maaf, ia kembali melebarkan luka di hatiku. Resah hati, ribuan pertanyaan, kebingungan yang memuncak menjadi tumpukan kemarahan dan kegundahan di dadaku. Dimana orang yang kucinta saat aku membutuhkannya, dimana orang yang kucinta saat aku merindukannya dan dimana orang yang kucinta saat aku ingin bersandar di bahunya??
Rintik hujan seperti menyambut rintikan air mataku yang mengalir bebas membasahi tanah hati. Tangisanku yang kalah oleh derasnya hujan semakin membuatku tak sadar bahwa ku dapati diriku terisak sendri di teras rumah kontrakanku seperti orang bodoh menunggu lama untuk sesuatu yang tidak pasti. Sedih, bingung dan sakit kutumpahkan semua malam itu. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini, hanya itu.
***
Malam itu, di akhir galauku. Orang terakhir yang bisa menerima tumpahan sedihku hanyalah Sandy. Aku tidak mau membuat Ibuku sedih hanya karena cerita cengengku ini. Aku menangis di telefon sejadi-jadinya. Dan akhirnya aku menerima sarannya untuk ke Medan, selain untuk menenangkan diri, aku sudah memutuskan untuk menyerah menghadapi sifat Radika yang diluar jangkauan hatiku. Aku merasa sedikit baikan, karena Sandy setia menemaniku sampai pagi. Aku tahu Sandy masih sayang padaku, tapi dengan bodohnya aku menyuruh Sandy untuk berhenti menyayangiku karena sebenarnya aku menyukai sahabatnya Radika yang sifatnya berlawanan dengan Sandy. Aku tidak menyesal, aku tahu Radika baik dia hanya tidak begitu mengerti cara memperlakukan wanita. Ya aku menyukainya karena dia menyayangiku dengan caranya yang berbeda. Tapi kini aku menyerah karena aku terlalu menyayanginya. Aku tidak mau sayangku berubah menjadi benci jika ini diteruskan.
Satu minggu berlalu. Aku memberikan secangkir teh hangat kepada Radika yang duduk di teras kontrakanku selesaiku membereskan keperluanku untuk berangkat hari ini ke bandara. Entah kenapa dari kemarin cuaca terus memendung.
“Sudah ada kabar dari Radika?”.
Aku menggeleng dan menyeruput teh di tanganku.
“Cobalah beritahu dia, jangan meninggalkan penyesalan sebelum pergi ke Jogja. Ini belum terlambat jika mau membatalkannya”
Aku menggeleng lagi. Namun Sandy malah menyodorkan Hpku yang tergeletak di meja. Aku menggelengkan kepalaku semakin kencang.
“Ya sudda............” sebelum Sandi menarik Hpku kembali. Tiba-tiba dengan refleks aku mengambilnya dan menekan tombol Phonebook. Selanjutnya aku mendengar nada tunggu. Pertanda nomor Radika sedang sibuk. Aku kembali mengulang panggilan. Sampai satu jam aku terus mengulang panggilan. Dan diangkat!
“Hallo!” suara Radika yang sepertinya sudah lama tidak kudengar membuat dadaku berdetak. Aku sangat merindukan suara itu.
“Nelfon siapa tadi?”. Aku sedikit menenangkan suaraku yang bercampur antara rindu dan marah.
“Teman”.
“Siapa??”.
“bukan siapa-siapa, tadi Dita Cuma... eh sayang, lagi dimana ini?”. 
“Dita?? Oh Dita ya?? Asyik yah ngobrol dengan mantan pacar sampai telfonku gak dihiraukan” Detakkan jantungku berubah menjadi lebih kencang. 
“Enggak tadi cuma....”.

“AKU BENCI KAMU RADIKA!!!!!!” aku menutup telefon dan kembali menangis. Ya di akhir kepergianku, hanya tangisan yang selalu di beri Radika. Aku tidak tahu sejak kapan dia berubah jadi seperti ini dan sejak kapan aku jadi secengeng ini. Sesak!. Sesaat kemudian aku merasa Sandy memelukku yang tertunduk menutup wajahku.
“Maaf yah Kinara, seharusnya aku tidak menyuruhmu menelefon”. Ucap Sandy pelan. “Hiks Hiks”. Tangisku menjadi.
***
Selesai membayar tiket pesawat di loket Bandara, aku kembali menuju dimana Sandy duduk menunggu di depan pintu masuk keberangkatan pesawat. Aku melihat Sandy tengah menelefon dan menutup telefonnya setelah melihatku. Sandy tersenyum padaku, dan aku mencoba membalas senyumannya untuk menjelaskan aku bisa dan aku masih baik-baik saja.
“Jam berapa berangkat pesawatnya?”, tanya Sandy.
“ 17:30”. Ujarku sembari duduk disampingnya.
“Hem.. masih ada 15 menit lagi..” Ujar Sandy melihat jam tangannya. Aku menangguk. Karena suasana hatiku yang tidak baik, aku jadi lebih banyak diam melihat sekeliling Bandara yang ramai lalu lalang orang. Aku memutuskan tidak akan kembali ke Jogja. Semua surat kepindahan sudah kuurus semua. Ya ini detik-detik terakhir aku di Jogja. Aku ingin sejenak untuk sedikit merasakan udara Jogja.
“Aku pasti akan sangat rindu kamu Kinara yang bawel”. Aku tersenyum mendengar ucapan Sandy.
“Senyumnya yang ikhlas donk, udah jelek tambah jelek lagi” ujar Sandy mencubit pelan kedua pipiku. “Sanddyyyy” aku sedikit manyun. 
“Waktu sudah menunjukkan 17:25, aku masuk aja ya”. Waktu berlalu. Ternyata lama-lama di sini membuat aku semakin sedih.
“Eh.. tunggu dulu, kan belum ada pemberitahuan keberangkatan”. Sandy menarik tanganku yang akan berdiri. Aku mengernyitkan dahi. 
“Eh a, aku cuma ingin ngeliat kamu lebih lama lagi” Sandy tersenyum dipaksakan. Ada yang aneh.
“Sannd....”.
“Kinaraaaaaaaaaaaa......!!” sebelum aku berhasil menjewer hidung Sandy aku mendengar seseorang di belakang memanggil namaku. Aku kenal suara itu. Aku melihat ke arah Sandy. Yang tahu keberangkatanku ke Jogja hanya Sandy dan Sandy tersenyum kecut merasa ku hujamin ribuan pertanyaan serius dengan tatapan tajam mataku.
“Kinara! Kenapa kamu gak bilang mau balik ke Medan????” Radika menarik tanganku mencoba memutar tubuhku menghadapnya. Aku tidak mau. Aku tertunduk. Aku tidak tahu harus apa, marah, sedih, kesal kembali menumpuk di dadaku.
“Lihat aku Kinara! Kenapa kamu gak kasih tahu aku? Kamu balik ke Jogja lagi kan?? Kamu marah karena masalah Dita? gak ada apa-apa Kin, kemarin itu cuma ada sesuatu yang di a tanya ke aku, selebihnya gak ada apa-apa Kin, percaya sama aku..”. Aku menggenggam sapu tangan di tangan kiriku dengan kuat. “Kinara jawab aku! Kenapa gak kasih tahu aku?”. Aku geram. Aku membalikkan tubuhku menghadapnya dengan mata yang memerah mencoba menahan air mata.
“Kemana kamu selama ini Radika!!!”. Terlihat wajah yang sangat aku rindukan. Karena perselisihan yang terus menerus membuat kami tidak berjumpa selama tiga minggu lebih. Rona kekhawatiran terlihat jelas diwajahnya.
“Kemana kamu saat aku butuh kamu Radika?? Kemana kamu saat aku ingin bertukar fikiran?? Kemana kamu saat aku ingin seseorang mencegahku dan bilang jangan pergi Kinara. Kemana??? Gak ada, kamu gak ada, kata maaf sampai sekarangpun tidak ada setelah semua kesedihan yang kamu beri ke aku....”. Akhirnya tangisku tumpah. Di tengah hiruk pikuk di Bandara aku menangis menatap Radika yang terdiam.
“Aku..”. 
“Kamu gak pernah ngerti aku, dan aku juga gak ngerti kenapa kamu seperti ini” aku memotong ucapan Radika. Saat ini hatiku benar-benar tidak bisa menerima penjelasan apapun. Sudah cukup semuanya.
“Aku menyerah Radika...” ujarku pelan. Terdengar pemberitahuan keberangkatan Jogja Medan untuk diharapkan segera masuk untuk menaiki pesawat. Aku melepaskan genggaman Radika.
“Kinara, aku sayang sama kamu, tolong jangan pergi...” Radika menarik tanganku lagi yang bersiap untuk melangkah.
“Terlambat!” aku mengibas tangan Radika. Seketika aku merasakan hatiku seakan jatuh. Aku benci rasa ini. Rasa dimana aku ingin sekali memeluk Radika sekarang dan mengucapkan aku sayang kamu juga Radika. Tapi tidak bisa. Aku sudah memutuskan untuk menyerah atas semua yang sudah terjadi. Aku orang yang kalah. Jadi aku harus pulang dari kekalahanku.
“Kinara!!! Tolong beri aku kesempatan menjelaskan semuanya, jangan pergi Kinara, kamu sayang sama aku kan...”. teriak Radika. Aku mempercepat langkahku dan memberikan tiket pada penjaga pintu masuk menuju tempat pesawat take off untuk diperiksa. Akhirnya aku meninggalkan kota Jogja dengan semua sakit yang ada. Satu tahun bersama Radika akan kukubur di memory hatiku. Aku telah membayar tiket keberangkat menuju halaman baru. Halaman baru tanpa nama Radika di sana. Satu titik air mataku jatuh dan segera ku seka, ini untuk yang terakhir. Semoga kamu bahagia tanpa aku Radika.... 
“Kinara! Meski kamu tidak mau dengar penjelasanku, setidaknya untuk terakhir kalinya tolong dengarkan kata-kata terakhirku..”kata-kata Radika mengehentikan langkahku, aku melihat kebelakang. Petugas penjaga pintu sedang berusaha menghalangi Radika yang bersusah payah mengejarku. Aku berusaha mengontrol diriku, aku berusaha tidak memperdulikan teriakan Radika. Aku kembali melangkahkan kakiku.
“Kinara!!! Kamu tahu kenapa aku kurang memperhatikanmu belakangan ini??!!!? Aku ingin memberi kamu surprise....iss lepaskan pak!! Sebentar saja” aku masih bisa mendengar Radika. “Aku berusaha keras belakangan ini untuk nepati janjiku ke kamu, aku sudah mendapatkan pekerjaan Kinara dan hari ini gaji pertamaku aku sudah membeli cincin untuk pertunanan kita...!! Kinara!!!!”.
“DEGH!” Kalimat terakhir Radika menghentikan langkah sekaligus detak jantungku sebentar. Air mataku terjatuh. Lagi. Aku mencoba menetralisir fikiranku yang kacau saat ini. Aku melihat kebelakang, dari balik kaca terlihat Radika di seret keluar oleh petugas keamanan bandara bersamaan  pintu masuk yang akan di tutup.  Belum sempat aku berfikir tiba-tiba aku mendapati diriku sudah berlari tepat sebelum pintu di tutup. Namun karena aku berlari terlalu kencang aku kehilangan keseimbangan saat melewati pintu. Aku terjatuh. Aku melihat keseliling bandara. Radika sudah tidak ada. Aku mencoba berdiri. Tertatih menahan nyeri di dengkul kananku. Tatapanku menyapu kesetiap penjuru bandara. Aku tetap tidak menemukan Radika. Sedang aku merasakan dengkulku semakin nyeri.
“Radika..!!!!!” aku berteriak kencang. Orang-orang disekelilingku menatapiku heran dan tidak banyak juga yang perduli. “Radika jahat!!!!” teriakanku sedikit merendah karena rasa putus asa dan perasaan yang tidak menentu saat ini. Tubuhku lemas. Aku terduduk di lantai bandara. Aku menghidupkan Handphone yang tadi ku non-aktifkan. Sesaat kemudian terlihat wallpaper aku dan Radika yang tersenyum memegang kue ulang tahun Radika dua bulan yang lalu. Aku mendekap Handphone di dadaku dan tertunduk. “Kenapa baru bilang sekarang Radika, kau buat aku bingung”. Aku kembali menangis.
“Maaf.. sayang...” aku merasakan kepalaku di sentuh. Aku mengadahkan wajahku. Radika tersenyum di sela wajahnya yang masih tersisa ke khawatiran di depanku sekarang. 
“Maaf membuat kamu bingung” Radika mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru yang dihiasi pita bening berwarna putih. “Aku tidak mengerti cara mengeluarkan isi hatiku ke kamu, aku juga tidak begitu mengerti kalau kamu terluka atas sifat aku, aku hanya melakukan yang aku ingin lakukan tanpa berfikir itu buat kamu bingung, aku ingin memberitahu kamu tentang hal ini, tapi aku terlalu bersemangat membayangkan sebuah cincin yang akan membuat kamu tidak bisa berhenti tersenyum, tapi sekarang aku buat kamu menangis..” Radika mennyeka air mataku.
“Maafkan ak..” sebelum Radika menyempurnakan kalimatnya aku memeluk Radika. Kini tangisku semakin menjadi. Tapi kali ini adalah tangis bahagia. Aku sayang sekali sama Radika. Kenapa aku sempat berfikir untuk meninggalkannya. Aku sudah tahu sifatnya yang cuek ini. Tapi egoisku mengalahkan segalanya. Aku terlalu tidak sabar. Aku sayang Radika.
“Dalam cinta tidak ada kata maaf dan terima kasih sayang, karena cinta memberi dan menerima dari hati untuk hati, tiada pamrih dan kata penyesalan disana. Kecuali jika salah satu dari hati itu menyerah, tapi aku janji tidak akan menyerah menyayangi kamu Radika....”.
“Aku juga sangat-sangat-sangat sayang sama kamu Kinara...” Radika membalas pelukanku erat. Kami tidak lagi memperdulikan sekeliling kami yang menatap aneh pada tingkah kami ini. Aku berjanji untuk sayang sama kamu selamanya sayang...

END
















Note:
Ending ceritanya gaje yah??
maklum Miss Amatir hehehehe
:)

0 komentar:

Posting Komentar